saya dan suami di Ranupani |
Perjalanan Dari Indomaret Tumpang Ke Ranu Pani
Kami masih leyeh2 di sekitar Indomaret Tumpang sambil nungguin kru Jeep menyusun keril2 kami di atap mobil. Peserta yg tercecer karena naek pesawat juga sudah berkumpul, begitu juga rombongan dari jawa timur. Saat itu ramai sekali pesertanya. Kami juga sempat foto2 di depan jeep.
Sekitar jam setengah 12an, 3 jeep yg berwarna orenz, hijau, dan hitam itu berangkat menuju ranu pane (atau ranu pani).
Waktu itu saya memilih utk berdiri di belakang jeep karena pikir saya pasti mengasyikkan. Ternyata benar… asik bgt di belakang itu. Angin yang cukup besar dan goncangan jeep karena kontur jalan yang tidak rata membuat perjalanan semakin aduhai.
Sewaktu memasuki daerah pegunungan, mobil semakin terguncang2 parah. Tangan harus kuat menahan badan agar tidak terlempar ke luar jeep. Ekstrim!
Menikmati Kaldera Gunung Bromo Purba dari Pos Bantengan
Sampai di Ranu Pani
Setelah itu kami berangkat lagi menuju Desa Ranu Pani dan sampai di sana sekitar jam setengah 1 siang.
Di sini kami berbagi tugas yaitu: rombongan laki-laki sholat dzuhur dan ashar terlebih dahulu, dan rombongan perempuan menjaga tumpukan keril dan perbekalan.
Di Ranu Pani ada beberapa warung yang menyediakan berbagai macam makanan. Beberapa dari kami sibuk makan bakso. Sedangkan saya asik tidur2an di dekat keril. Kebetulan saat itu Ranu Pani sangat ramai, ada banyak rombongan yg akan mendaki semeru hari yang sama dengan kami.
Pendaftaran Mendaki Semeru
Sekitar jam setengah 2, kami bersama-sama menuju pos registrasi. Di pos ini kami tertahan hampir 2 jam karena harus registrasi dari NOL. Saya sempat membantu Pakde Ikmal untuk mengurutkan fotokopi KTP dan surat keterangan sehat yang harus dibawa sebagai persyaratan utk mendaki semeru. Saya juga yg diberi mandat utk menyerahkan berkas2 itu ke loket sesegera mungkin karena jam 4 loket registrasi Semeru ditutup oleh petugas. Saya tergopoh2 ke loket dan menyerahkan semuanya.
Sret..sret.. Sret… suara kertas diitung sama om petugas.
Plok..plok plok… suara stempel..
Alhamdulillah, persyaratan selesai. Kami semua diperbolehkan mendaki.
Pendakian Ke Ranu Kumbolo Pun Dimulai
Pukul 15.35 WIB kami mulai menyeret langkah ke gerbang pendakian Mahameru. Saat pertama kali memanggul tas keril, saya sudah merasa bahwa keril saya sangat berat. Tapi waktu itu saya berusaha sekuat tenaga utk tersenyum dan meyakinkan diri tentang kalimat Laa Hawlaa walaa quwwata illabillah.
Alhamdulillah, meski berat, saya bisa melangkah kaki bersama teman-teman yang lain.
Awalnya saya pingin jalan ke Ranu Kumbolo bareng sama suami saya. Tapi apa dikata, suami saya ada di rombongan belakang sebagai sweeper.
Saya akhirnya berjalan kaki sendirian saja. Maklum, keril saya sangat berat di pundak, jadi saya lebih baik berjalan sedikit demi sedikit daripada terlalu banyak berhenti.
Tiap langkah selalu diiringi dengan takbir dan kalimat yg menandakan bahwa saya hanyalah makhluk tak berdaya, Allah-lah yg memberi saya kekuatan hingga detik saya mengucap Laa Hawlaa walaa quwwata illabillah.
Dalam pendakian ini, saya membandingkan jalur pendakian ke Ranu Kumbolo ini dengan Manglayang. Ternyata benar, track ke Ranu Kumbolo ini memang relatif sangat landai jika dibandingkan dengan Manglayang.
Saat itu saya benar-benar bersyukur pernah mendaki Manglayang karena saya bisa menjadi manusia yang dapat menahan diri dari keluhan jalan menanjak. Kenapa? karena tanjakan yang katanya paling curam yang terletak di pos 3 ga ada apa2nya dibandingkan dengan track di Manglayang.
Setelah cukup lama menapakkan kaki di jalur pendakian, saya terpisah cukup jauh dari rombongan belakang. Saat itu saya tidak merasa takut atau cemas. Bahkan saat itu saya memanfaatkan waktu utk berkhalwat dengan alam. Saya benar-benar merasa bahwa hanya ada saya, pohon, tanah, udara, dan Allah.
Waktu itu saya sempat hampir menangis mengingat dosa-dosa yg saya lakukan. Bahkan dalam kondisi penuh dosa, Allah masih memberi kesempatan utk melihat kebesaranNya melalui pendakian ini.
Tak berapa lama kemudian, saya bertemu dengan Pak Budi, salah 1 rombongan dari Bandung. Kami berdua saling susul menyusul yg kemudian pak budi bersama dengan Pak Imam sedangkan saya kembali berjalan sendirian. Alhamdulillah, di depan saya ada rombongan Mbak Tyarin, suaminya, dan mbak Heny. Dengan merekalah saya akhirnya berjalan bersama2 hingga mendekati Ranu Kumbolo, tujuan akhir kami.
Tragedi Horor Di Pendakian
Saat sampai di pos 1, sudah ada rombongan kecil yang terdiri dari Mbak Nur dan Suami, Mbak Chana dan Suami serta Bli Nyoman. Waktu itu pundak saya sudah hampir kebas: capek luar biasa dan terasa sakit.
Saya awalnya bertanya ke teman2 yg di Pos 1, apa ada yg membawa counterpain atau parem kocok atau apapun yg dapat membantu meringankan sakit di pundak. Tapi ternyata ga ada yg bawa karena sebagian besar orang di pos 1 menggunakan jasa porter untuk membawa ransel dan keril yang besar.
Oiya, saya lupa cerita bahwa dalam rombongan ini banyak yg menggunakan jasa porter. Maklum, peserta “rihlah” ini bukan berlatar belakang pendaki. Olahraga juga alakadarnya tapi rejekinya banyak, hehe. Jadi daripada nyusahin badan, mending bagi2 rejeki sama bapak2 porter. Betul nggak? #eaaaa. Saya sih gak make porter, pertama karena saya pingin ngerasain bawa beban ke rakum. Yg kedua, karena ga ada duid. Haha.
Balik lagi soal counterpain, mbak chana menawarkan semacam obat utk meredakan sakit punggung. Katanya sih dari Kanada. Yaudah, daripada nggak ada, saya mau2 aja. “Obat” yang berbentuk roll on pun saya oleskan ke bagian pundak tanpa curiga. Awalnya saya ngerasa, “enak juga nih obatnya, pundak terasa seperti dipijat”. Lalu Mbak Tyarin juga ikutan nyobain obat oles ajaib dari Mbak Chana. Kami lalu berpamitan dari pos 1 dan melanjutkan perjalanan.
Kemudian tragedi horor itu pun terjadi.
Beberapa langkah setelah kami meninggalkan pos 1, saya merasa bahwa pundak yg tadi diolesi sama obat oles semakin dingin dan ada sensasi seperti digigit semut. Awalnya saya masih bisa tahan, tapi lama2 gigitan itu semakin menjadi-jadi dan saya mulai berbicara dengan Mbak Tyarin sambil berteriak
“Mbaak,,, pundaknya sakit gak mbak? Kok kyk digigitin semut gini ya?”
“iya nih cuss… lama2 sakit lho…”
Lalu kami pun spontak berteriak2 di jalan karena sakit di pundak kami. Mbak Heny yg berjalan bersama kami cuma tertawa puas saat ngeliat kami kesakitan. Haha.
Namun Efek baik dari rasa sakit itu adalah kami bisa mengalihkan perhatian dari beban keril di pundak dan kami bisa berjalan dengan agak lebih cepat. Sensasi gigitan semut itu baru hilang setelah lebih dari setengah jam kami berjalan.
Fyi, waktu sampai di Ranu Kumbolo dan sedang beristirahat, Mbak Chana menawari saya untuk menggunakan obat ajaib itu lagi. Tanpa banyak mikir saya langsung bilang “Ogaahh.. Gamau lagi gue make obat itu. Sakit banget”.
Mbak chana cuma ketawa ngakak.
Perjalanan Menuju Pos 2
Dari pos 1 ke pos 2, waktu sudah mulai menunjukkan hari akan berganti malam. Perjalanan masih relatif datar. Hanya saja sekitar pukul 17.37 kami disuguhi penampakan Mahameru yg tadinya bertabir kabut tebal, tiba2 saja angin meniup tirai itu. Kami serta merta menghentikan sejenak perjalanan, meneriakkan takbir lalu berebut minta difotoin…
Setelah kekisruhan sunset, kami kembali meneruskan perjalanan. Saat itu ada beberapa pohon yg tumbang ke jalan, sebagian besar dalam kondisi habis terbakar. Ada juga pohon yg sangat besar melintang di jalur pendakian yg harus dilompati karena merayap di bawahnya adalah hal yg merepotkan. Seperti inilah penampakan si pohon bongsor itu.
Perjalanan Malam Dari Pos 3
Setelah melewati pohon tumbang, kami menyalakan headlamp karena perjalanan di malam hari akan dimulai. Perjalanan Malam adalah hal yg sangat relijius buat saya. Hati bertambah khusyu’ menyebut namaNYA. Dzikir adalah hal yg tak pernah lepas dari bibir. Karena saya yakin, dari situlah saya masih bisa menapaki jalan. Agak lebay kyknya ya,,, tapi kalau kamu tau bagaimana kondisi organ dalam tubuh saya, maka kamu akan tau betul bahwa apa yg saya tulis tadi adalah nyata buat saya. Hehe.
Saya dan rombongan akhirnya berhasil menyusul rombongan Mbak Nur yang sudah duluan dan bergabung menjadi rombongan yg lebih besar. Sesampainya di pos 3, kami kan pingin leyeh2 dulu karena kaki udah mulai capek. Tapi ada bapak2 yg bilang
“Ngapain kalian istirahat di sini? Nanti males lho ngeliat tanjakan itu (di depan kami)… nanti aja istirahatnya klo udah kelar nanjak”
Ee buset, yaudahlah… kami pun terseok2 mengikuti "perintah" dari bapak itu. Dan memang, tanjakan yang disebut bapak tadi cukup terjal dibandingkan rute sebelumnya. Meski tentu saja, seperti yg saya bilang di awal, tidak se-ekstrim di Manglayang. Meski tetap saja kami tepar di tanah yang datar setelah melewati tanjakan pos 3.
Kami lalu melanjutkan perjalanan sampai ke pos 4. Kalau tidak salah kami sampai di Pos 4 pukul 9 malam.
Perjalanan Dari Pos 4 Ke Ranu Kumbolo
Menurut porter yang sempat kami tanyai, perjalanan dari pos 4 ke Ranu Kumbolo hanya 15 menit. Mendengar itu kami kembali bersemangat mengayuh langkah. Tapi ternyata omongan itu adalah perkiraan dari para porter yang sudah terbiasa bolak-balik Ranu Pani ke Ranu Kumbolo. Tentu saja kecepatan kami dan porter sangat jauh berbeda. Tapi tak apa, Ranu Kumbolo yg sempat kita lihat dari pos 4 menjadi api semangat tersendiri bagi kami.
Pendakian malam semakin seru karena Bli Nyoman yg berada di depan memberikan petunjuk bahwa di depan kami ada jurang, batu, kayu, batang pohon, dll. Hal ini semakin semarak karena ada nyanyian kentut dari para rombongan. Situasi yang ramai membuat pendakian menjadi menyenangkan.
Semakin mendekati Ranu Kumbolo, udara terasa semakin dingin, kaki yang sudah terbungkus kaos kaki dan sepatu terasa membeku, pundak semakin berat, dan kaki semakin tak bisa dikendalikan. Otak ingin jalan mepet ke kanan, tapi ternyata kaki malah melenceng ke kiri. Mungkin karena tubuh sudah lapar juga ya...hehe.
Dari pos 4, perjalanan relatif menurun. Kami yang tadinya berada di belakang porter tiba2 kehilangan jejaknya yang sudah berada sangat jauh di depan. Kami kembali menapaki jalan mendaki dan ternyata lokasi kemah kami masih jauh. Padahal waktu kami turun dari pos 4, sudah ada orang2 yg berkemah di sebelah kanan kami.
Di tengah perjalanan malam itu, satu persatu cahaya headlamp di rombongan kami sudah meredup bahkan beberapa sudah mati. Tinggal headlamp saya yang masih menyala terang yg bertugas menerangi langkah rombongan dari depan. Otomatis perjalanan melambat karena keterbatasan cahaya.
Sampai Di Ranu Kumbolo
Akhirnya, perjalanan panjang kami berakhir pukul 21.30 WIB. Di sana sudah ada rombongan Jawa Timur dan ada Sidqi, remaja berumur 11 tahun! Ternyata rombongan yang pertama sampai sudah ada di Ranu Kumbolo sejak pukul setengah 7 malam. Luar biasaa… !
Saya, Mbak Nur, dan Mbak Chana yang tidur dalam 1 tenda langsung memilih tenda yang kebanyakan masih kosong. Kami bertiga langsung menggelar matras dan sleeping bag masing-masing. Saya juga segera membuka emergency blanket yang saya bawa karena bagian tumit kaki ke bawah sudah terasa sangat sakit akibat serangan dingin. Kami lalu meringkuk di dalam sleeping bag masing2 utk meluruskan punggung, menghangatkan diri, dan mengistirahatkan pundak. Alhamdulillah….
Ranu Kumbolo, 2014
Posting Komentar
Posting Komentar