tim kawah ijen |
Pengalaman Tracking Di Kawah Ijen-Hari Sabtu Pukul 1 dini hari kami sudah terjaga. Saya waktu itu sudah ingin melambaikan tangan ke kamera karena kami baru sampai di tempat transit kami saat ini beberapa jam yang lalu. Kami pun baru tidur mendekati pukul 12 malam. Praktis, badan kami masih berteriak ingin terus istirahat.
Menuju Paltidung, Basecamp Sebelum Mendaki Gunung Ijen
Meski begitu kami tetap bersiap, memasukkan semua barang2 kami ke elf dan menuju Paltidung, Basecamp sebelum kami naik menuju Kawah di Puncak Gunung Ijen. Perjalanan menuju Paltidung ternyata cukup lama, sekitar 1jam. Jadi kami masih bisa meneruskan tidur di dalam elf. Saya tidak merasakan apa-apa ketika elf naik turun bukit menuju Paltidung. Saya tidur. Pulas.
Meski perjalanan dijadwalkan pukul 2, nyatanya kami baru mulai bergerak bersama ratusan orang lain ke atas pukul 2.30 WIB. Suasana di Paltidung ini dingin, kontras sekali dengan keganasan matahari Banyuwangi yang sudah 2 hari ini kami rasakan. Tapi dinginnya masih belum menyamai “nyes”nya Dieng waktu saya dan teman2 The Rok Travelers (traveler perempuan yang selalu memakai rok panjang kemanapun) naik ke Gunung Prau.
Meski perjalanan dijadwalkan pukul 2, nyatanya kami baru mulai bergerak bersama ratusan orang lain ke atas pukul 2.30 WIB. Suasana di Paltidung ini dingin, kontras sekali dengan keganasan matahari Banyuwangi yang sudah 2 hari ini kami rasakan. Tapi dinginnya masih belum menyamai “nyes”nya Dieng waktu saya dan teman2 The Rok Travelers (traveler perempuan yang selalu memakai rok panjang kemanapun) naik ke Gunung Prau.
Saya gak memakai sarung tangan waktu ke Kawah Ijen dan masih merasakan hangat ketika tangan saya masukkan ke dalam jaket gunung yang saya pakai. Berbeda dengan ketika di Gunung Prau: meski saya sudah menggunakan sarung tangan berbahan polar yang hangat tapi tetap saja dingiiinn…
Mendaki Gunung Ijen
Malam itu saya sebenarnya sudah bilang ke diri sendiri “It’s OK klo saya gak naik ke puncak karena suami saya lagi gak enak badan”. Jadi niat mulia saya waktu itu adalah buat nemenin suami yang cuman ngendon karena masih kurang sehat di Paltidung sambil nungguin rombongan balik lagi ke basecamp. Tapi bisikan aduhai dari impian bernama naik gunung serta doa restu dari suami membuat saya goyah lalu kalah. Sehingga saya tiba-tiba sudah berada di tengah perjalanan menuju Puncak IJen bersama dengan yg lain :pSingkat cerita, di 1 km pertama perjalanan saya waktu itu sudah capek, sampai-sampai kaki sudah tidak bisa diajak kompromi. Tapi saya ingat dengan perjuangan saya waktu naik ke Semeru tahun lalu, saya bisa sampai ke Ranu Kumbolo (yaelah, sampe ke Ranu Kumbolo doang padahal :p) karena sepanjang perjalanan saya cuman dzikir dan dzikir. Dzikirnya apa? Cuman dua: Takbir sama Hauqalah (la haula wa la quwwata lila billah).
Saya waktu itu bener-bener ngerasa klo saya bukan siapa-siapa. Saya nggak bisa ngapa-ngapain tanpa bantuan dari Allah SWT, Tuhan saya. Jadi saya melakukan hal yang sama di Ijen: berdzikir.Meski tracknya nggak sesadis Manglayang dan tidak selama Semeru, saya waktu itu merasa kalau Ijen sangat jauh. Apalagi teman-teman saya mulai melambat dan sering istirahat.
Terus terang, dalam naik gunung, saya nggak bisa istirahat terlalu banyak karena saya jadi mager aka males gerak dan tambah capek. Jadi saya lempeng jalan sedikit sedikit nyaris tanpa istirahat. Saya berhenti ketika melepas jaket karena kegerahan lalu berhenti lagi ketika saya kembali kedinginan dan harus memakai jaket tebal saya kembali. Jadi hampir 75% perjalanan saya ke puncak adalah sendiri, sepi, tapi nggak mellow karena saya setrong.
Sekitar 2,5 jam jalan kaki, akhirnya saya sampai juga di puncak. Waktu itu sudah hampir pukul 5 pagi. Saya dan beberapa teman segera membuat barisan dan shalat subuh berjamaah. Kalian tau?
Sekitar 2,5 jam jalan kaki, akhirnya saya sampai juga di puncak. Waktu itu sudah hampir pukul 5 pagi. Saya dan beberapa teman segera membuat barisan dan shalat subuh berjamaah. Kalian tau?
Semua proses ketika sholat saat itu sangat saya nikmati. Benar-benar istirahat jiwa raga.
Blue Fire Kawah Ijen
Waktu itu masih pukul 5 kurang sekian dan langit masih gelap. Meski kami bisa menikmati Blue Fire aka api biru abadi dari atas, kami merasa ada yang kurang sehingga kami, saya dan 2 orang perempuan lainnya, waktu itu meminta salah satu guide kami untuk turun ke kawah. Memang waktunya mepet, tapi waktu itu adalah momen nothing to lose karena saya juga penasaran sama penambang yang tersohor di kalangan para fotografer itu.Track ke bawah itu murni bebatuan jadi harus hati-hati. Gak hanya biar kita gak jatuh dan mati konyol tapi juga agar tidak menabrak2 para penambang yang menggantungkan nasib keluarga dari pekerjaannya itu, gak kayak kita yang duduk di belakang meja trus tiap bulan dapet gaji.
Hampir 30 menit kami melompat-lompat ke arah bawah dan berkejaran dengan matahari terbit, akhirnya kami sampai di hadapan blue fire yang melegenda itu. Saya pribadi sempat menikmati jilatan api biru itu dengan mata saya, tapi tidak dengan lensa kamera. Tapi gak papa. Saya cukup bersyukur dengan pencapaian saya waktu itu yaitu tujuan traveling saya yaitu Kawah Ijen sudah terceklis sempurna.
Sekitar setengah jam kami “bermain” di bawah dengan sesekali bersembunyi
di balik bebatuan untuk menghindari asap berbau belerang yang bisa
beracun jika terlalu banyak terhirup atau tertelan. Kami waktu itu hanya
menggunakan masker kain yang memang tidak terlalu berguna untuk
memfilter aroma sulfur yang sangat menyengat. Tapi untungnya saya
membawa sebotol air minum, sehingga kami bisa bernafas dengan cukup
normal setelah masker kami dibasahi dengan air (ini tips!).
Bagi yang gak kuat dan melambaikan tangan ke kamera, ada “taksi” yang bisa dipakai jasanya lho. Taksinya itu pakai gerobak yang didorong oleh 1 orang penduduk lokal. Tarif taksi itu variatif, tergantung lokasi dan berat badan penumpang: 50-250 ribu :D. Saya gak motret taksi yang ada penumpangnya karena saya liat para penumpangnya itu rada2 malu klo ada yg ngeliat ke arah dia, hehe.
Fase terakhir inilah yang merupakan siksaan sesungguhnya. Saya udah kyk mau pingsan di jalan, paha dan betis pun sudah terasa sangat kaku. Tapi lagi2 karena saya keras kepala, saya masih terus berjalan kaki sedikit demi sedikit (dengan gaya robot) hingga sampai ke Paltidung di urutan kedua terakhir dari seluruh rombongan :p. lalu saya digendong sama suami saya ke elf karena udah gak kuat =)).
Dengan ini saya putuskan bahwa misi Kawah Ijen sudah tuntas. Saya sepertinya gak mau balik lagi ke sini karena saya jadi penasaran sama gunung-gunung lain di Indonesia :D. See you…
Balik Ke Paltidung: Siksaan sesungguhnya
Perjalanan naik kembali ke daratan cukup melelahkan, terutama untuk betis dan paha. Waktu itu rasa-rasanya saya pengen teriak “Kakak, minta gendong…” =)). Tapi demi harga diri dan penyelesaian misi Kawah Ijen, saya bersikeras untuk terus berjalan dan sesekali memotret. Setelah itu kami kembali turun menuju Paltidung dengan berjalan kaki.Bagi yang gak kuat dan melambaikan tangan ke kamera, ada “taksi” yang bisa dipakai jasanya lho. Taksinya itu pakai gerobak yang didorong oleh 1 orang penduduk lokal. Tarif taksi itu variatif, tergantung lokasi dan berat badan penumpang: 50-250 ribu :D. Saya gak motret taksi yang ada penumpangnya karena saya liat para penumpangnya itu rada2 malu klo ada yg ngeliat ke arah dia, hehe.
Fase terakhir inilah yang merupakan siksaan sesungguhnya. Saya udah kyk mau pingsan di jalan, paha dan betis pun sudah terasa sangat kaku. Tapi lagi2 karena saya keras kepala, saya masih terus berjalan kaki sedikit demi sedikit (dengan gaya robot) hingga sampai ke Paltidung di urutan kedua terakhir dari seluruh rombongan :p. lalu saya digendong sama suami saya ke elf karena udah gak kuat =)).
Dengan ini saya putuskan bahwa misi Kawah Ijen sudah tuntas. Saya sepertinya gak mau balik lagi ke sini karena saya jadi penasaran sama gunung-gunung lain di Indonesia :D. See you…
Posting Komentar
Posting Komentar