"Teh Ncuss hari ini mau ikut (penyaluran) ke mana?" Yazid, korlap di Palu menyapa saya di dalam ruangan utama masjid yang jadi basecamp relawan.
"Yang paling jauh ke mana?" saya balik nanya sambil ketawa.
"Paling jauh mah ke Donggala, teh"
"okeh"
Sesederhana itu ke mana kaki saya melangkah hari itu, tanggal 23 Oktober 2018, diputuskan. Saya memilih lokasi terjauh di hari pertama karena kondisi tubuh saya masih fresh jadi mau ke mana aja juga santai bae. Sembari menunggu truk bantuan yang sedang loading barang dari gudang, saya menekuni layar laptop dan memilah data dari buku harian para relawan. Setelah memahami garis besar data di lembaran kertas, saya mulai memasukkan data satu per satu ke file excel.
Matahari di Palu sangat panas pagi menjelang siang saat itu. Layar handphone saya menunjukkan angka 32 di aplikasi cuaca yang membuat saya kaget. Seingat saya, di Bandung cuaca pernah mencapai angka ini tapi saya tidak pernah merasakan sepanas, segerah, dan seterik ini. Saya lalu membongkar ransel dan menarik keluar kipas angin mini berwarna putih yang saya bawa kemana-mana. Semilir angin dari baling-baling kecil membuat saya merasa sedikit nyaman. Saya melanjutkan pekerjaan saya saat itu dan sesekali memperhatikan kesibukan para relawan yang mondar-mandir sana-sini.
Setelah adzan dzuhur berkumandang, truk bantuan akhirnya datang ke basecamp. Sebelum beraksi, semua relawan wajib makan siang dulu agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Saya lupa menu makannya apa saat itu, kalau tidak salah ingat berupa nasi putih, ayam goreng, sambal dan kerupuk. Pokoknya mah makanannya seadanya kalau di sana.
Tapi jangan khawatir, semua relawan bebas meminta susu (susu ultra atau susu beruang, misalnya) dan atau vitamin C (misalnya U C 1000) agar semua relawan terjaga staminanya dan tetap sehat. Para relawan juga bisa meminta pemeriksaan ke dokter yang memang selalu ada (minimal) saat pagi hari sebelum dokter itu pergi bersama tim medis ke lokasi pemeriksaan kesehatan. Kan gak lucu ya kalau relawan yang bantu penyaluran malah sakit karena kondisi kesehatannya tidak terjaga.
===Prinsip pertama dalam keselamatan dan kegiatan yang berhubungan itu adalah "save yourself first"===
Bekas-Bekas Tsunami Palu-Donggala
Saya bersama 2 orang relawan dan juga driver berangkat memimpin rombongan truk bantuan dengan berat hampir 4 ton dan 1 mobil tim psikososial. Sepanjang perjalanan menuju Donggala kami menyaksikan sisa-sisa desa yang lenyap ditelan bumi dan kuburan massal untuk jenazah yang ditemukan dari lokasi bencana. Ketika mobil melewati jalan raya di pinggir laut, kami melihat bekas-bekas tsunami yang menghantam desa. Bibir pantai bersih dari warung dan rumah penduduk karena hanyut terbawa gelombang tsunami, kontainer berwarna merah terguling di sana-sini, bangunan masjid berwarna hijau runtuh di kanan jalan dan ratusan rumah roboh di kanan kiri.
bekas tsunami, lengkap dengan kontainer dan alat berat |
warung dan rumah yang hilang begitu saja dihempas gelombang |
reruntuhan |
Bapak driver yang menemani kami adalah seorang ustadz yang aktif berdakwah ke masjid dan majelis taklim. Bapak H ini menjelaskan banyak hal mengenai budaya di Palu yang ditengarai sebagai penyebab datangnya tsunami, keanehan gelombang tsunami yang nampak "memilih" daerah yang dilewati, dan keanehan lain. Saya masih mikir sih mau nulis apa yang diceritakan Bapak H ini secara detil atau nggak :D
Penjarahan Barang Bantuan
Sekitar 1 jam berkendara, kami sampai di Desa Limboro Kec. Banawa Tengah, Kab. Donggala. Sebelum sampai di salah satu posko pengungsian yang kami tuju, kami beserta rombongan truk sempat berhenti di pinggir jalan untuk berkoordinasi dengan koordinator posko di sana. Tidak sampai 1 menit mobil dan truk berhenti, belasan hingga puluhan warga berhamburan dari posko pengungsian tak jauh dari tempat kami berdiri dan mengelilingi kami semua.
Melihat itu semua driver kami berbicara dengan bahasa lokal yang tidak saya mengerti dan dengan suara keras kepada semua orang yang mengelilingi kami. Saya awalnya tidak menangkap apa yang sedang terjadi, tapi setelah melihat gelagat dari Bapak H, orang-orang yang menggedor jendela kaca mobil kami, dan segala keanehan yang lain ternyata mereka semua ingin meminta bantuan dari truk bantuan kami. Setelah paham, saya baru merasa agak deg-degan :D.
Saat itu saya baru menyadari bahwa "dikepung" oleh belasan orang itu cukup membuat suasana mencekam. Apalagi ketika bencana gempa dan tsunami ini masih hangat di ingatan dan disana-sini banyak terjadi penjarahan bantuan. Suasana di jalanan pasti akan lebih mengerikan dibandingkan dengan apa yang saya alami waktu itu. Pantas saja truk bantuan di awal bencana datang harus dikawal oleh TNI/Polisi.
Kehebohan siang itu tidak berlangsung lama, bapak H dan juga beberapa orang berhasil menghalau orang-orang tersebut dan kami kembali melanjutkan perjalanan menuju posko yang ternyata hanya 5 menit berkendara dari lokasi itu.
Cerita Dari Para Penyintas Bencana
Kami lalu menyerahkan bantuan kepada kepala posko agar beliau mendistribusikan bantuan secara adil dan bijak. Kami melanjutkan perjalanan ke desa berikutnya setelah tim sholat ashar di posko pengungsian tersebut. Sembari menunggu, saya menyempatkan diri untuk berbincang-bincang dengan beberapa warga yang sedang duduk-duduk di depan posko utama.
Saya tidak ingat siapa saja nama ibu dan bapak yang berbincang di tengah teriknya matahari Donggala, tapi saya ingat betul pengalaman yang mereka bagikan. Saat gempa datang, seluruh desa bergemuruh dengan banyaknya teriakan minta tolong dan mencari sanak saudara. Semua warga di Desa terdekat di sekitar posko pengungsian, tempat saya dan tim menurunkan bantuan, berlarian dengan barang seadanya menuju tempat yang tinggi dan jauh dari bangunan tinggi. Beberapa ibu berkata bahwa mereka harus berjalan telanjang kaki sejauh 1-2 kilometer untuk mencapai posko pengungsian ini.
Suasana penurunan lebih dari 1 ton bantuan. Wajah warga yang ngobrol bareng saya tidak saya upload karena beberapa alasan |
Saya melihat wajah-wajah di sekeliling saya yang sesekali tersenyum dan tertawa saat menceritakan tragedi yang terjadi beberapa pekan lalu dengan pandangan penuh arti. Saya tidak bisa tidak tertunduk haru ketika mendengarkan kisah survival mereka hingga bisa bernafas hari itu. Saya tidak bisa tidak kagum dengan ketegaran mereka yang satu-dua orang anggota keluarganya harus dijemput oleh malaikat izrail bersamaan dengan hilangnya harta benda.
Menuju Banawa Selatan
Saya kemudian pamit ke semua warga untuk menyalurkan bantuan ke Kecamatan Banawa Selatan bersama tim. Kami juga berpisah dengan tim psikososial yang memutuskan untuk meneruskan pelayanan mereka hingga sore hari karena di posko ini banyak sekali anak kecil yang merupakan sasaran utama program tim psikososial.
Menuju Banawa Selatan |
Saya dan tim kembali berkendara selama hampir 2 jam menuju Banawa Selatan. Perjalanan ini tetap diisi dengan pertanyaan-pertanyaan saya ke Bapak H:
"Pak, ini kenapa jalannya memang jelek begini ya?"
Saat itu kami melewati jalan beraspal yang tidak rata tingginya, retak, bahkan hancur di sebagian ruas jalan.
"Karena gempa kemaren, Bu. Dulu mah jalanan di sini mulus"
Saya kembali terkejut dengan kekuatan gempa di sana.
Jembatan yang kami lalui bersama truk dengan muatan hampir 3 ton |
Di dusun kecil ini anak-anak mengerubungi kami dan sangat girang tidak kepalang ketika mendapatkan satu keping biskuit malkist. Saat itu saya ingin nangis, tapi gak mungkin saya mewek cirambai di sana. Jadi saya berusaha tegar dan kuat bagai wonder woman sambil ngobrol santai dengan warga.
Saat maghrib menjelang, kami sudah berpamitan dengan semua warga untuk kembali ke basecamp. Muka bagai tambang minyak, rambut lepek di balik kerudung, bau keringat dimana-mana adalah jejak dari pengalaman yang akan terus membekas di perjalanan hidup saya.
Terima kasih atas inspirasi dan ketegarannya, Donggala.
Hiks, melihat korban gempa/tsunami emang menyedihkan ya ncus..
BalasHapusSekeping Malkist bikin meleleh hati, semoga mereka selalu diberikan keberkahan yaa.
Insyaallah, doakan aku menyusul kesana,kemaren soalnya masih ditutup menuju ke Palu, jadinya ke Lombok duluan.
iya, teh. meuni sedih liatnya...
Hapusaamiin, teh. semoga dimudahkan agar bisa ke Palu dan meraup banyak inspirasi di sana *hug*
Tarik nafas dalam-dalam, semoga kita semua dilindungi Tuhan ya Teh dan para korban mendapatkan berita bahagia secepatnya🤗
BalasHapusaamiin ya Allah.
HapusAllah bersama para penyintas gempa di Palu, Donggala, dan Sigi
Ngeri banget sampai ada penjarahan gitu ya Teh
BalasHapusSedih banget melihat keadaan di sana. Semoga Allah mudahkan para penyintas di sana
BalasHapusDuh, sedih kalo ingat Donggala. Musibah yang waktu itu sangat dahsyat. Alam yang asalnya indah bisa jadi rusak seperti itu. Semoga lekas pulih, semoga cepat bangkit. :')
BalasHapusTeh Susi, saya ikut merasakan keharuannya lewat tulisan ini walaupun tidak melihat langsung ke Dongala, tapi lewat tulisan ini serasa ikut melihat apa yag terjadi di sana pasca bencana, pengalaman luar biasa ya
BalasHapusKebayang suasananya mencekam pisan setelah bencana. Semoga kita semua selalu dilindungi, semoga Palu lekas bangkit. Aamiin
BalasHapushiks hanyut, terasa ikut berjalan dibawah suhu 32 derajat dengan serba serbi masalahnya
BalasHapusSending all my prayers to them. So proud of you teh :)
BalasHapusWah menyaksikan dari dekat korban bencana pasti lebih menyentuhnya...semoga proses recovery nya bs cepat n lancar ya..
BalasHapussedih bacanya.. seakan mengingatkan.. kita ga punya apa-apa kecuali Allah tempat kembali.. ya Allah kuatkan sodara2 kami di Donggala.. teteh keren, ih.. ^^
BalasHapusSeru pengalaman jd relawannya, teh. Tapi sedih latar ceritanya. Mudah2an Palu Donggala cepet pulih. Amin.
BalasHapusTeteeh, sedih banget bacanya. Terbayang trauma yang dialami masyarakat di sana. Semoga mereka selalu dikuatkan yah Teh :))
BalasHapusTeh, pengalamannya mengharukan.
BalasHapusButuh mental baja untuk menjadi relawan. Teteh mengagumkan.
Deg-degan juga ya di perjalanan menuju Palu ini. Semoga makin banyak relawan untuk membantu Palu, Sigi, dan Donggala :)
BalasHapus